Pasang Surut Pembatasan Pekerjaan Alih Daya (Outsourcing) Pasca Putusan MK No. 168/PUU-XXI/2023 Tertanggal 31 Oktober 2024

Overview

Pada penghujung tahun 2022, lebih tepatnya 30 Desember 2022, Pemerintah menetapkan Perppu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja sebagai respon akhir terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi No. 91/PUU-XVIII/2020 sehingga secara resmi mencabut keberlakuan Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja 2020). Dimana pada tanggal 21 Maret 2023, Perppu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja resmi disahkan dengan Undang-Undang No. 6 Tahun 2023 (UU Cipta Kerja 2023).

Adapun yang menjadi perhatian terhadap pergeseran ketentuan pada UU Cipta Kerja 2023 tersebut adalah kembalinya regulasi pembatasan sebagian pekerjaan yang boleh dilakukan alih daya (outsourcing) pada perubahan Pasal 64 UU No. 13 Tahun 2003 yang sebelumnya dihapuskan oleh UU Cipta Kerja 2020.

Saat ini belum ada Peraturan Pemerintah tindak lanjut dari UU Cipta Kerja 2023 sehingga dalam proses peralihan ketentuan alih daya masih merujuk pada peraturan

pelaksana UU Cipta Kerja 2020 yakni PP No. 35 Tahun 2021 yang tidak mengatur mengenai syarat-syarat dan pembatasan sebagian pekerjaan yang objek alih daya.

Dengan terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168/PUU-XXI/2023 tertanggal 31 Oktober 2024 berpotensi menggeser kewenangan pembagian sebagian pelaksanaan pekerjaan outsourcing yang semula diatur didalam Peraturan Pemerintah menjadi ranah Peraturan Menteri Ketenagakerjaan.

Pembatasan Melalui Core & Non-Core

Sebelumnya, ketentuan mengenai alih daya (outsourcing) diatur pada Pasal 64, 65, dan 66 UU No. 13 Tahun 2003 dibatasi hanya pada pekerjaan tertentu (non-core) yang diperbolehkan untuk dialihdayakan yakni:

  1. Pekerjaan dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
  2. Pekerjaan dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;
  3. Pekerjaan merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan
  4. Pekerjaan tidak menghambat proses produksi secara langsung.

Pada UU Cipta Kerja 2020, pembatasan ini tidak berlaku lagi sehingga baik pekerjaan utama (core) ataupun penunjang (non-core) bisa menjadi objek pekerjaan outsourcing sepanjang disepakati didalam Perjanjian tertulis. Namun, pembatasan pekerjaan yang menjadi objek alih daya kemudian berubah lagi dengan adanya UU Cipta Kerja 2023 dimana perubahan Pasal 64 ayat (2) dan (3) mengatur bahwa Pemerintah menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan dan ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan sebagian pelaksanaan pekerjaan tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Belum Adanya Peraturan Pelaksana

Tanpa adanya peraturan pelaksana maka masih belum jelas apakah bentuk pembatasan terhadap sebagian pekerjaan yang boleh dialihdayakan tersebut akan mengikuti ketentuan core dan non-core sebagaimana UU No. 13 Tahun 2003 ataukah akan menjadi bentuk regulasi baru.

Saat ini dalam praktiknya ketentuan pelaksana mengenai alih daya masih merujuk pada PP No. 35 Tahun 2021 sehingga aspek core dan non-core juga masih belum menemukan titik terang. Penggunaan regulasi alih daya (outsourcing) yang telah dibentuk oleh Kementerian Ketenagakerjaan sebelumnya pun sudah tidak bisa lagi digunakan, mengingat pasca terbitnya UU Cipta Kerja 2020, Kementerian Ketenagakerjaan pada tanggal 12 November 2021 menerbitkan Permenaker No. 23 Tahun 2021 tentang Pencabutan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Sebagai Akibat Diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Beserta Peraturan Pelaksanaan.

Ketentuan tersebut secara resmi mencabut regulasi Kementerian Ketenagakerjaan terkait pembatasan core dan non-core yakni Permenaker 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain sebagaimana terakhir diubah dengan Permenaker No. 11 Tahun 2019.

Regulasi atau Deregulasi: Arah Kebijakan Outsourcing Yang Akan Datang

Pada beberapa kesempatan, Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia menyampaikan bahwa sesuai arah regulasi ketenagakerjaan sesuai UU Cipta Kerja 2023 maka tidak semua jenis pekerjaan dapat diserahkan kepada perusahaan outsourcing sebagaimana diatur didalam UU Cipta Kerja 2020. Kedepannya Pemerintah akan mengatur jenis atau bentuk pekerjaan yang dapat dialihdayakan akan diatur melalui Peraturan Pemerintah.

Untuk membatasi jenis pekerjaan yang bisa menggunakan tenaga outsourcing, maka Pemerintah sedang dalam proses merevisi Bab III PP No. 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja karena aturan itu merupakan peraturan pelaksana UU Cipta Kerja 2020 yang sudah tidak berlaku lagi.

Kendati demikian, munculnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168/PUU-XXI/2023 tertanggal 31 Oktober 2024 berpotensi menggeser kewenangan pembagian sebagian pelaksanaan pekerjaan outsourcing yang semula diatur didalam Peraturan Pemerintah menjadi ranah Peraturan Menteri Ketenagakerjaan.

Titik Terang Tanggungjawab Atas Kesejahteraan Pekerja Outsourcing

Terlepas dari ketidakjelasan pembatasan pekerjaan yang dapat menjadi objek alih daya, UU Cipta Kerja dan PP No. 35 Tahun 2021 membawa titik terang dengan diaturnya pembebanan tanggungjawab ketenagakerjaan Pekerja outsourcing sepenuhnya kepada Perusahaan penyedia jasa outsourcing. Hal ini akan menghapuskan risiko hukum bagi Perusahaan pengguna (user) yang sebelumnya dapat ikut bertanggungjawab apabila Perusahaan outsourcing tidak memenuhi hak Pekerja yang bersangkutan.

Selain itu UU Cipta Kerja juga mulai mengatur mengenai upaya jaminan pekerjaan (job security) bagi Pekerja outsourcing. Hal ini diatur didalam Perubahan UU Cipta Kerja 2023 atas Pasal 66 ayat (3) UU Ketenagakerjaan 2003 dimana Perjanjian dalam bentuk PKWT untuk Pekerja oursourcing harus mencantumkan klausul TUPE (transfer of undertaking protection of employment/ pengalihan perlindungan hak bagi pekerja).

Walaupun demikian, perlu diperhatikan bahwa UU Cipta Kerja 2023 tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan konsep pengalihan perlindungan hak bagi pekerja (TUPE). Sehingga dalam praktiknya aspek ini masih akan berisiko menghasilkan penafsiran yang berbeda-beda terutama apabila dibenturkan dengan prinsip kebebasan berkontrak.

TUPE sendiri merupakan salah satu model perlindungan hukum bagi Pekerja outsourcing yang menjadi pertimbangan majelis dalam menerbitkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-IX/2011. Ini merupakan prinsip jaminan kelangsungan hubungan kerja bagi Pekerja outsourcing dengan jenis perjanjian PKWT. Dimana ketika Perusahaan pengguna (user) melakukan pergantian Perusahaan outsourcing yang lama, sepanjang objek pekerjaannya tetap ada, maka Perusahaan outsourcing yang baru harus melanjutkan kontrak kerja yang telah ada sebelumnya. Dalam hal ini masa kerja yang telah dilalui (service years) para pekerja outsourcing

tersebut tetap dianggap ada dan diperhitungkan, sehingga pekerja outsourcing dapat menikmati hak-hak sebagai pekerja secara layak dan proporsional.

Apabila pekerja outsourcing tersebut diberhentikan dengan alasan pergantian perusahaan outsourcing, maka para pekerja diberi kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan  Industrial sebagai sengketa hak.

What’s Next?

Per tanggal update release ini maka ketentuan pelaksanaan kegiatan alih daya (outsourcing) masih merujuk pada PP No. 35 Tahun 2021 sehingga dalam praktiknya masih belum ada syarat-syarat pembagian pekerjaan yang dapat menjadi objek alih daya. Adapun kami akan terus meninjau best practice implementasi pembaruan perjanjian outsourcing serta memantau perkembangan-perkembangan selanjutnya, terutama update regulasi dan proses revisi PP No. 35 tahun 2021 yang saat ini sedang berjalan dan terdampak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168/PUU-XXI/2023 tertanggal 31 Oktober 2024 yang berpotensi menggeser kewenangan pengaturan outsourcing yang semula pada ranah Peraturan Pemerintah menjadi ranah Peraturan Menteri Ketenagakerjaan.